Berbelanja di Cibaduyut


Selasa, 22 Februari 2011




Setelah menginap selama 3 malam di hotel Pesona Bamboe, kami akhirnya harus meninggalkan tempat yang asri ini dan yang tak tak terlupakan. Pagi ini embun menghiasi kaca jendela hotel. Aku terbangun dan mengigil. Dengan semangat aku menikmati air panas dari shower di kamar mandi. Satu persatu dari kami menikmati sarapan lagi-lagi di buffet hotel. Sekitar pukul 7.30 kami menikmati sarapan lagi-lagi buffet hotel selesai itu, beberapa dari kami lalu berkumpul di depan halaman hotel sambil bercanda tawa dan bermain ditemani angin pegunungan yang sejuk. Pak Alfan lalu menyuruh kami mengumpulkan koper di lapangan parkir untuk dimasukkan ke dalam bus. Rencananya Pak Alfan akan menggunakan 1 bus untuk membawa koper kami ke hotel Naripan di Bandung.
Sambil menunggu pak Alfan kembali ke Lembang, kami lalu berkumpul di gazebo yang menghadap ke depan kolam renang. Beberapa siswa duduk di ayunan yang dekat gazebo. Beberapa siswa lalu ditugaskan untuk memeriksa setiap kamar, memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Dengan hijaunya rumput disekitar kami, Pak Calvin lalu melakukan briefing, suaranya yang khas lalu memberi ceramah layaknya guru yang perlu menasehati murid-muridnya. Namun memang dasar Pak Calvin yang imut selalu bercanda di tengah pembicaraannya. Meskipun kami menunggu lama, kami tidak merasa bosan, dengan pohon dan bunga di sekitar sini, hotel  ini menyajikan pemandangan indah untuk menemani kami bersantai.
Setelah 2 jam, Pak Alfan lalu tiba. Kami pun berangkat ke Bandung meninggalkan Lembang di belakang. Kami mulai memasuki kota Bandung. Melewati Jl. Asia-Afrika, kami menuju daerah Cibaduyut lorong kecil dengan rumah penduduk kumuh pun kami lewati pertama kali berada di Jl. Cibaduyut Raya deretan ruko dengan berbagai sepatu dan tas yang terpampang seakan dapat menenggelamkan kami, jutaan tas dan sepatu tinggal di jalan ini. Kami berhenti di salah satu parkiran milik salah satu toko terbesar di Cibaduyut. Lorong kecil dengan rumah penduduk kumuh pun kami lewati pertama kali berada di Jl. Cibaduyut Raya deretan ruko dengan berbagai sepatu dan tas yg terpampang seakan dapat menenggelamkan kami, jutaan tas dan sepatu tinggal di jalan ini. Kami berhenti di salah satu parkiran milik salah satu toko terbesar di Cibaduyut. Toko Grutty memiliki sekitar 4 toko disekitar jalan. Bukan hanya tas dan sepatu, di sini terdapat juga banyak toko yang menjual pakaian. Mulai dari kaos biasa, baju muslim, batik, bahkan terusan, tali pinggang, dompet dan boneka juga ada. Setelah kami tiba, setiap siswa diberi kupon diskon 30% yang dapat digunakan untuk pembelanjaan merk Grutty. Suhu disini tidak sesejuk di Lembang. Namun dibandingkan Medan, perkotaan Bandung di bawah terik matahari siangnya, masih bertiup angin yang dapat mengurangi panas hari.
Belanja pun dimulai. Harga yang ditawarkan juga bervariasi, dari puluhan ribu sampai ratusan ribu. Kualitas kulit juga beragam, dari kulit sintetis sampai kulit asli untuk sepatu namun tas yang ditawarkan rata-rata terbuat dari sintetis. Bukan Indonesia namanya kalau tidak ada pedagang kaki lima di keramaian seperti ini. Maka para pedagang makanan dan pernak-pernik juga ikut meramaikan.
Setelah menelusuri jalanan, sebuah toko menarik perhatian saya, karena desain tokonya yang bagus. Ternyata toko tersebut merupakan toko yang menjual produk hasil produksi sendiri. Dengan modal yang bagus, merek tersebut mampu menjual dengan harga terjangkau dibandingkan produk import. Setelah berjalan lagi, toko-toko dengan produk hasil anak Bandung pun ternyata bukan hanya 1, namun berpuluhan toko menjual dan memproduksi produk mereka sendiri. Walaupun pembeli kebanyakan tergolong kalangan menengah ke bawah, namun mendapat kesempatan untuk berada di sini merupakan pengalaman unik yang tak terlupakan. Inilah akhir dari perjalanan kami menulusuri Bandung. Suasana dan atmosfer yang berbeda dari kehidupan kami di Medan tentunya memiliki tempat di memori kami. Susah dan senang kami jalani bersama di Bandung ini, semoga semuanya mendapatkan pelajaran dari perjalanan yang indah ini.

 

Kunjungan ke Museum Geologi

Senin, 21 Februari 2011

Bagian 2



Pada tanggal 21 Februari 2011, kami mengunjungi museum geologi di Bandung. Museum geologi ini beralamat di jalan Ponegoro no: 57 Bandung, sekitar 200 m dari provinsi Bandung. Gedung museum didirikan pada saat masa penjajahan VOC dan diresmikan juga pada tanggal 16 mei 1929.
Batu yang dibuat menyerupai kayu
Siswa-siswi pada saat menapakkan kaki di lantai museum geologi, segera disambut oleh berberapa moderator di sana. Kami lalu diarahkan ke ruang auditorium untuk melihat suatu film yang berjudul dunia yang terbentuk oleh waktu, dan hanya berdurasi 15 menit. Film tersebut menceritakan keadaan alam yang terjadi dengan adanya waktu. Juga diceritakan tentang kejadian alam terkenal seperti Gunung Everest yang terbentuk dikarenakan 2 pulau saling bertumbukan.
Trip berikutnya mereka berjalan ke ruangan dimana di dalamnya terdapat fosil-fosil yang sudah berumur ratusan tahun. Ada pemandu yang menjelaskan mengenai fosil itu kepada kami, seperti contohnya fosil kura-kura atau geochelone atlas yaitu kura-kura raksasa setinggi 1,5 m  dan panjang 2 m.

Selanjutnya, dengan dipandu oleh seorang wanita, siswa-siswi menuju ke suatu ruangan lagi yaitu ruangan Geologi Indonesia yang berlokasi di lantai dasar. Di dalam ruangan Geologi Indonesia terdapat berbagai macam barang zaman dahulu seperti bijih emas. Juga dijelaskan pembentukan bumi yang sebenarnya di Indonesia terdapat 129 gunung berapi yang aktif. Selain itu terdapat juga berbagai macam batu-batu zaman dulu.
Alat Masak Purba

Di lantai 2 ini terdapat berbagai macam kamar yang memiliki koleksi tersendirinya. Di sepanjang koridor terletak juga berbagai macam batuan dan di lantai atasnya terdapat berbagai macam miniatur seperti kapal pesiar zaman dulu. Selain itu juga ada gambar tentang kehidupan manusia purba dimana mereka memasak segala sesuatu dengan kayu gesek, dan ada juga ​suatu benda yang dinamakan ulekan. Daripada memotret objek-objek di museum itu, siswa-siswi lebih tertarik untuk  memotret diri sendiri.

Sedangkan di ruangan selanjutnya terdapat batu garam yang berbentuk kristal yang ditaruh di dalam lemari kaca.
Batu Kristal

Kembali ke 1955

Senin, 21 Februari 2011


Bagian 1

 
Bangunan kuno yang bergaya “Victorian” yang terletak di Jl. Asia-afrika menjadi tempat tujuan rombongan CK. Museum Konferensi Asia-Afrika, itulah tepatnya. Gedung yang diberi nama Gedung Merdeka oleh Bung Karno dengan harapan negara-negara merdeka akan datang kesana, berdiri dengan gaya Eropa yang bercatkan putih. Puluhan tiang bendera dipasang mengelilingi sudut bangunan yang dibangun oleh arsitek Mr. Sumarcher yang kemudian menjadi dosen Bung Karno di ITB.
Siswa CK lalu secara berombongan memasuki gedung merdeka. Pertama kali kaki melangkah masuk, secara mencolok tampak konstruksi sidang KAA. Dengan patung lilin Bung Karno yang berdiri di podium depan dan beberapa ketua deklarasin yang duduk di meja berbentuk setengah lingkaran di belakang podium, siswa seperti diajak kembali ke tahun 1955, saat sidang KAA berlangsung. Bukan hanya itu, seperti layaknya konferensi internasional lainnya, berdiri dengan tegas puluhan bendera Negara-Negara dari benua Asia-Afrika. Kamera kuno yang mengarah ke podium juga membuat konstruksi sidang KAA semakin mirip dengan aslinya.
Gedung ini awalnya bernama “Societeit Concordia” yang di bangun pada tahun 1895. Fungsi dari gedung ini dulunya adalah sebagai tempat hiburan bagi kelompok belanda yang berdomisili di bandung. Siswa CK serta para guru lalu diajak masuk ke ruangan dimana sidang KAA pernah berlangsung. Dengan ramah pemandu rombongan menyambut kedatangan rombongan. Lalu dengan semangat, beliau mulai menjelaskan sedikit mengenai KAA. Siswa yang duduk pada kursi yang masih sama yang digunakan pada saat berlangsungnya KAA, lalu mendengarkan dengan serius sambil mencatat bagian-bagian penting yang dijelaskan oleh pemandu. Namun ruangan dan atap melengkung yang diisi oleh kursi sandar berwarna merah terasa berisik karena adanya perbaikan.
Tidak sampai 10 menit Bapak pemandu museum ini memindahkan kami ke ruang paling depan yang memiliki bendera setiap Negara dan juga patung-patung pahlawan Indonesia. Bapak pemandu ini menceritakan dari awal sampai akhir dari peristiwa di gedung ini dimana pada saat gedung Konferensi Asia Afrika ini akan berlangsung disetujui oleh banyak negara tetapi hanya 1 negara yang datang dengan pesimis/meremehkan konferensi Asia Afrika ini dengan alasan kalau Negara Indonesia baru saja merdeka selama 10 tahun. Tapi pada akhirnya Negara Indonesia berhasil mengadakan konferensi ini dan dihadiri oleh 29 Negara. Di 29 Negara itu terdapat bendera mereka masing-masing yang disusun secara abjad. Tetapi ada 1 negara yang tidak memiliki bendera karena baru merdeka, yaitu Sudan. Jalan keluarnya ialah membuat satu bendera polos dan dituliskan di tengah-tengah adalah “SUDAN”. 29 Negara yang ke KAA adalah: Afganistan, Burma, Kambodia, Ceylon, Cina, Mesir,  Ethiopia, Goldroast, India, Indonesia, Iran, Irak, Jepang, Jordan, Laos, Libanon, Liberia, Libia, Nepal, Pakistan, Filipina, Arab Saudi, Sudan, Siria, Thailand, Turki, Republik Vietnam, Skate of Vietnam, dan terakhir Yaman.
Tujuan dilakukan KAA ini adalah untuk menciptakan adanya kolonialisme dan imperialisme, lahirnya blok barat dan timur (perang dingin), perlombaan senjata yang di ciptakan oleh blok barat dan blok timur, tasaisme perbedaan warna kulit. Dengan adanya KAA ini, Indonesia berhasil membuat beberapa perubahan seperti: membantu memerdekakan negara yang belum merdeka, peranan PBB semakin baik, lahirnya kerja sama di berbagai bidang, lahirnya gerakan non-blok.
Lebih kurang 30 menit pemandu selesai menceritakan semuanya dan siswa- siswi pun ada yang pergi meninggalkan tempat untuk melihat-lihat ataupun berfoto.
 

Mengintip Proses Pengolahan Teh

Sabtu,19 Februari 2011



Foto Bersama




Dari penginapan, kami berangkat ke pabrik teh Tambaksari. Waktu yang diperlukan untuk semua rombongan ke tempat tersebut memakan waktu sekitar  15 menit karena kami pergi dengan 2 kali trip, berhubung bus yang kami gunakan kurang besar.
Kesan pertama mengenai tempat tersebut adalah “tua”. Dinding bangunan sudah kusam dan jendelanya tidak lagi bening. Namun, bangunan tersebut masih tampak berdiri kokoh dikelilingi kebun-kebun yang asri. Di sekitar pabrik, kita dapat menghirup aroma daun teh yang segar.
Kedatangan kami disambut oleh Bapak Raijikin, selaku mandor besar, dan Bapak Endang. Keduanya akan memandu sekaligus menjelaskan tentang proses pengolahan teh.
Alat Pengering
Kami diajak ke jembatan timbang yang berada di sisi kanan pabrik. Pucuk teh yang telah dipetik dari kebun langsung dibawa untuk ditimbang. Alat timbangan tersebut berukuran sangat besar yang terletak merata dengan jalanan. Selanjutnya kami diajak memasuki pabrik dengan menaiki tangga. Di samping tangga tampak kursi monuler yang ke atas bergerak membawa teh yang telah ditimbang. Setelah sampai dilantai dua, kami berkeliling melihat tempat pelayuan. Teh yang telah diangkut dengan kursi monuler lalu dibeberkan dan dilayukan dengan angin selama 4 jam. Teh kemudian dibalik dan dimasukkan kedalam leaf cutter untuk dipotong agar memudahkan proses pengolahan.
Proses Pelayuan Daun Teh
Kami lalu menuju lantai bawah. Di sana teh yang sudah dipotong akan diayak untuk pemisahan kotoran dan batu-batu kecil. Teh lalu dimasukan kedalam mesin CTC, dimana mesin ini dibagi menjadi dua, yaitu mesin dengan 8 gigi dan 10 gigi. Karena lantainya licin, kami harus berjalan dengan perlahan, sekaligus melihat proses pembuatan teh. Dengan mesin CTC, teh masuk ke dalam proses indimitis dimana teh dirobek, dilemaskan, lalu digulung. Kami mengikuti alat yang terbentang menuju mesin pengeringan. Pada mesin ini, teh dikeringkan selama 18-20 menit dan kadar air di dalam teh lalu berkurang 2,5%. Proses inilah yang akhirnya mengubah warna teh yang hijau menjadi cokelat.
Kami lalu memasuki ruang pemanasan. Di sini suhu menjadi semakin tinggi dengan adanya tungku pemanasan yang besar. Keluar dari ruangan tersebut, terdapat ruang sortasi. Di sinilah bubuk-bubuk teh yang telah dipanaskan lalu disortir. Lagi-lagi kami merasa kesulitan karena banyaknya bubuk teh yang bertebangan sampai-sampai kami harus menutup mulut agar bubuk teh tidak masuk  kedalam mulut. Namun kami merasa senang karena ini merupakan proses akhir dari teh. Disini, teh lalu dipisahkan berdasarkan ukuran kehalusan  bubuk teh. Pak Raijikin juga menjelaskan bahwa teh-teh yang berkualitas baik nantinya akan diekspor, sementara teh yang berkualitas kurang baik akan dipasarkan secara lokal.
Kami lalu masuk ke ruang pengetesan dimana teh-teh yang telah diproses lalu diambil sampel-nya untuk dibandingkan dengan teh hasil hari-hari sebelumnya, selain itu ruang pengetesan juga digunakan untuk merasai teh. Apabila rasa teh tidak sesuai maka hasil teh tersebut harus diproses ulang. Di dalam ruangan ini, kami juga diseduhkan sampel teh tesebut. Dengan ramah Pak Raijikin juga menjelaskan bahwa teh yang diproduksi oleh Pabrik Tambaksari ini kebanyakan mengekspor teh ke Timur  Tengah.
Sampel Teh
Perjalanan untuk melihat-lihat proses produksi teh ini pun berakhir. Kami lalu berdiri di depan bangunan pabrik untuk berfoto bersama. Lalu dengan beralaskan lantai teras pabrik, aku menulis jurnal ini. Sambil berbincang-bincang ditemani angin sejuk pegunungan, kami menunggu bus selama sekitar 1 jam.
Setelah bus datang, kami melanjutkan perjalanan kami ke daerah Lembang yang berjarak sekitar 24 km. Dengan jendela bus yang terbuka, perjalanan terasa nyaman dengan angin yang sangat sejuk. Perkebunan teh terhampar sepanjang jalan, pemandangan yang sungguh indah dan asri. Sepanjang perjalanan juga tampak jejeran penjual nanas.
Perkebunan Teh
Di tengah perjalanan kami semua terkagum-kagum dengan pemandangan di luar bus. Dimana terdapat banyak sekali pertanian dan perkebunan dari lembah sampai ke bukit dengan susunan yang sangat teratur. Sungguh indah dan pemandangan di sini tidak mungkin dapat ditemukan di Medan. Karena perkotaan berbeda dengan pedesaan.
Setelah sampai di Lembang, kami berhenti di salah satu warung pinggir jalan.  Untuk melengkapi perjalanan kami di Lembang, kami sedikit bereksperimen dengan wisata kuliner. “Sate Kelinci” menjadi pilihan kami. Dengan duduk beralaskan tikar, kami menunggu makanan yang telah kami pesan. Berhubung jumlah rombongan banyak, pesanan makanan diantarkan dalam waktu yang cukup lama. Untuk itu saya melanjutkan tulisan ini. Setelah sekitar 1 jam, akhirnya pesanan kami datang. Pertama kali digigit, daging kelincinya terasa kenyal. Daging kelinci terasa hampir sama dengan daging ayam, hanya saja daging kelinci lebih terasa kenyal.
Sate Kelinci
Selesai menyantap makan siang, kami menuju hotel Pesona Bamboe untuk beristirahat.
Hotel Pesona Bamboe

Belajar Mengenai Kehidupan Pedesaan



Jumat, 18 Februari 2011


Rumah Sunda
Pada hari kedua, kami dituntun menuju Rumah Sunda di sebelah kolam ikan. Atap dari rumah Sunda ini disebut “julan lapak” (karena bentuknya seperti burung yang sedang mengepakkan sayapnya) dengan dinding dan lantai bambu yang kurang rapat sehingga angin bertiup masuk ke dalam rumah tradisional tersebut.
Kasur Kapuk
Dapur
Pada zaman dahulu, kapuk digunakan sebagai tempat tidur. Untuk memanfaatkan rumah mereka sebagai kandang ayam, kami lalu diajak menuju dapur untuk memantau lokasi tersebut. Dengan lantai batu dan semen berserta peralatan dapurnya, suasana di dalam rumah membuat kami merasa seperti berada di zaman dahulu. Panci untuk memasak nasi terbuat dari besi dengan diameter yang lebih kecil dibagian tengah. Lalu sebuah mangkuk yang berbentuk kerucut yang berbentuk anyaman ditaruh diatas nya untuk memasak nasi. Ada dulang yang terbuat dari batu tempat menyimpan nasi, boboko yaitu gantungan tempat-tempat nasi, nyiru tempat mencuci beras dan pipiti untuk menyimpan makanan. Di belakang rumah terdapat leuit (gudang padi), di sekitarnya terdapat banyak peralatan menangkap ikan. Ada bubuk yang digunakan untuk menangkap ikan, ada wisung untuk menumbuk padi dan lodong yang terbuat dari bambu untuk mengambil air. 
Selanjutnya kami menaiki perbukitan dan berhenti di salah satu gubuk. Mas Tito dengan pangsik (pakaian tradisional sunda) menjelaskan tentang penanaman padi dan perkebunan nanas. Nanas Subang yang terkenal salah satunya juga berasal dari desa wisata ini. Nanas Simadu yang tidak terprediksi hasilnya membuat nanas manis ini harganya 2 kali lipat lebih mahal. Inilah yang membuat nanas subang sangat terkenal.
Setelah itu, kami berangkat menuju persawahan dengan topi kerucut ala petani. Kami berjalan berbaris melewati petak-petak sawah dan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Jalan kecil tersebut sangat licin sampai kami terpeleset beberapa kali. Sering juga kami menemukan jalan setapak yang lembek sampai-sampai kami hampir terjungkal ke dalam sawah.




Kekhawatiran yang kami rasakan sepanjang jalan akhirnya terhapuskan setelah kami sampai di tengah persawahan. Pemandangan indah terhampar dihadapan kami. Sejauh mata memandang, tampak sawah-sawah yang sangat hijau. Angin yang menghembus setiap helai padi dan mereka seperti bergoyang lembut di bawah matahari pagi. Perjalanan dilanjutkan menuju petak sawah lainnya untuk menanam padi. Kami melewati jalan perkampungan dan layaknya saudara, para penduduk sekitar selalu menyapa penunjuk jalan kami, Mas Tito. Mereka pun menyapa dengan candaan yang beraksen Sunda, sangat ramah dan sangat lembut. Sesampainya di tempat tujuan, kami turun ke dalam sawah yang sudah dibajak oleh 2 ekor kerbau. Dengan benih padi yang diberikan, satu per satu siswa menanam padi. Canda dan tawa menyertai kami kala salah satu seorang siswa berlari ketika kerbau tersebut berjalan ke arahnya.
Memandikan Kerbau
Setelah itu,kerbau-kerbau tersebut digiring ke sungai untuk dimandikan.Tidak tanggung-tanggung para siswa pun turun ke sungai untuk memandikan kerbau tersebut. Awalnya, beberapa siswa merasa jijik,namun pada akhirnya mereka memandikan kerbau-kerbau tersebut. Lalu kami pulang ke pinggiran untuk membersihkan diri dari lumpur yang telah bercampur dengan kotoran kerbau tadi.

Selesai makan siang, acara outbound pun dimulai, permainan ini tentunya hanya  kegiatan untuk bersenang-senang,namun terdapat unsur tersirat yang tentunya memberi siswa pendidikan.Kami berkumpul di sebuah aula terbuka dan membentuk lingkaran. Permainan pertama adalah untuk melatih konsentrasi,kami diharuskan menyebutkan daret angka dan angka tertentu yang diubah sebutannya. Siswa lalu di bagi ke dalam 2 kelompok dan kami bermain karet bersambung tanpa melepaskan tangan dengan teman yang terdiri di sebelah, setelah itu pria dan wanita di bagi ke dalam 2 kelompok berbeda. Kami membuat lingkaran dengan badan menempel satu sama lain, lalu saling memangku dan berputar. Lalu kelompok di bagi secara acak dan kami bermain suit jepang. Permainan bertambah seru dengan siswa yang digiring ke lapangan yang berumput. Siswa diacak tanpa membedakan jenis kelamin. Dengan mata tertutup kami harus membunyikan suara binatang untuk menemukan anggota kelompok masing-masing. Setelah itu masing-masing kelompok membentuk lingkaran. Dari posisi semula yaitu tangan yang disilangkan, kami harus mengubah posisi tangan menjadi lurus tanpa melepaskan jalinan tangan.

Lapangan yang diberi batas lalu menjadi pemenang pada permainan selanjutnya, yaitu jembatan batu. Kami diberi penutup gepeng yang berfungsi sebagai jembatan dengan jumlah yang kurang dari jumlah pemain. Kami harus menyebrang dengan penutup gepeng tanpa memijak rumput. Pemenang dari permainan ini adalah kelompok 4.
Jembatan Batu
Dengan bambu yang dibagi 2, kami diberikan masing-masing 1 orang 1 bambu. Tugas kami  harus memindahkan sebuah bola pingpong dengan bambu tersebut. Permainan terakhir yang merupakan puncak permainan adalah permainan tali seimbang (bola goyang).
Bola Goyang
Dengan sekitar 5 tali,setiap kelompok harus mengikatkan bagian tengah tali kepada bambu kecil. Di atas bambu yang melayang ini diletakkan bola kasti. Tantangannya adalah untuk mengiring bola kasti seperti yang telah disebutkan.Dalam permainan ini terdapat banyak perselisihan antar siswa. Namun pelajaran dari permainan ini adalah kerjasama. Bagaimana hal ini diperlukan baik dalam dunia sekolah, pekerjaan, maupun kegiatan sosial.
Bambu

Sekilas Mengenai Budaya Tradisional


Chandra Kusuma School merupakan sekolah yang berpegangan pada pendirian bahwa murid-muridnya perlu diberikan pendidikan bukan hanya secara teori namun para murid juga perlu dilatih langsung di lapangan. Untuk itu, sekolah yang mewah tersebut selalu mengadakan fieldtrip per semesternya untuk meningkatkan kualitas siswa. Maka diputuskanlah siswa  kelas XI diberangkatkan ke Bandung dalam rangka fieldtrip pada semester 2-nya ini.

Kamis, 17 Februari 2011

Pagi itu sekitar pukul 6:30, setelah semua siswa dan guru telah berkumpul di sekolah Chandra Kusuma, kami pun berangkat ke Bandara Polonia. Awalnya para guru telah menjelaskan bahwa koper-koper tidak akan dimasukan ke bagasi, berbagai protes pun berkecam. Namun tanpa alasan yang jelas pada hari H, Pak Calvin, selaku koordinator, mengurus koper-koper untuk masuk ke bagasi. Hal ini membuat beberapa murid merasa girang, namun kegirangan tersebut lenyap dengan berita bahwa setiap koper yang masuk ke bagasi pesawat dikenakan biaya sebesar Rp. 120.000,-. Para murid lalu berbisik-bisik mengeluh mengenai hal ini. Namun hal tersebut tidak mengurangi semangat kami untuk menjelajahi Bandung. Pesawat lalu berangkat tepat pukul 08.45.
Setibanya kami di bandara Husen Sastranegara pada sekitar pukul 11.30 WIB, Pak Alfan (guru yang telah sampai terlebih dahulu di Bandung untuk melihat situasi lapangan Bandung) menjemput kami. Dengan bus pariwisata sewaan, kami menuju BTC (salah satu mall di Bandung), di sana kami makan siang di food court. Menurut kami, makanan di food court ini terbilang lebih murah dibandingkan harga di Medan. Apalagi dengan porsi yang lumayan besar, kami pun kembali bersemangat untuk menempuh perjalanan menuju Desa Wisata Sari Bunihayu.
Daerah Desa Wisata Sari Bunihayu ini dibeli pada tahun 1988 dengan luas tanah sekitar 4 hektar. Awalnya pemilik tempat ini hanya menggunakan tempat ini sebagai wisata berlibur pribadi dan keluarga. Namun atas himbauan dari pihak luar untuk membuka desa wisata ini, maka dengan resmi pada tahun 2002, tempat ini dibuka untuk komersil. Selain menyediakan penginapan, kafe dan kolam renang, desa wisata ini juga menyediakan kegiatan outbound dan kegiatan perdesaan. Tidak hanya itu, kebun teh dan nanas milik desa wisata ini juga dijual. Dengan bantuan penduduk desa, perkebunan dan pertanian nyatanya telah menambah objek wisata desa wisata ini.
 
Aula Serbaguna
Sepanjang perjalanan, kami melihat banyak bangunan yang berdiri sedikit bertebing sehingga membuat bangunan–bangunan di kota Bandung ini terlihat sangat khas. Kesan pertama yang kami dapat sesampainya adalah udara yang segar dengan pemandangan yang asri. Kami disambut dengan sangat baik oleh staf desa wisata ini. Di aula serbaguna, kami disediakan beberapa kue tradisional dan jus nanas kombinasi asli dari perkebunan mereka. Tutor kami Mas Tito yang masih muda menjelaskan dengan aksen khas Sunda yang menunjukan betapa ramah dan lembutnya penduduk Bandung.


Murid-murid lalu dibagi ke beberapa kamar dan diberikan waktu 15 menit untuk berganti pakaian yang nantinya akan digunakan untuk bermain lumpur di kolam ikan yang jaraknya dekat dengan pondok-pondok.
Kolam Ikan
Gebuk Bantal
Saat masuk ke kolam, kaki kita akan merasakan air kolam yang hangat, namun lebih dalam lagi, akan terasa cairan agak kental yaitu lumpur yang sangat tinggi. Beberapa murid perempuan sampai berteriak ketika memasuki kolam. Selain licin, kolam tersebut juga tentunya berisi banyak ikan. Namun setelah beberapa lama para siswa tampak antusias dengan tertangkapnya ikan-ikan. Meskipun sedikit jijik dan kotor, kami menikmati pengalaman yang seru ini. Setiap kelompok berlomba untuk mendapatkan ikan terbanyak. Yang jelas, pakaian yang kami kenakan kotor oleh lumpur di kedua sisinya dan bercaknya sulit untuk dibersihkan. Setelah lomba menangkap ikan, diadakan lomba gebuk bantal (pukul bantal). Sebuah bambu panjang di taruh membentangi di atas kolam ikan. Dua orang dari dua kelompok yang berbeda lalu duduk di tengah bambu yang berada di atas kolam tersebut lalu saling berpukul-pukulan sampai salah seorang dari mereka terjatuh. Namun karena ketangguhan setiap pemain hasil akhir adalah seri.

Sekitar pukul 6 sore, kami menuju kantin desa wisata ini untuk makan malam. Tidak sama seperti masakan Medan yang pedas, masakan di sini sedikit lebih manis dengan kecapnya. Selesai menyantap makan malam, kami kembali menuju ke aula serbaguna untuk menikmati tarian-tarian dan musik tradisional yang biasanya diberikan pihak desa wisata untuk menyambut tamu sekaligus sebagai hiburan untuk para penduduk sekitar. Sanggar ini dibentuk dengan tujuan untuk melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya khususnya dari kabupaten Subang.
Angklung
Acara dimulai dengan musik khas Subang yang dominan dari orkestra ini adalah toleat, yaitu sebuah alat musik tiup menyerupai saxofon (kalau menurut kami, suaranya lebih mirip terompet). Dengan berada di bawah aula terbuka yang beratapkan seng, angin persawahan malam yang berhembus, ditambah obor-obor yang berfungsi sebagai penerangan, suasana malam itu sangat terasa akan budaya Jawa-Sundanya.
Pertama-tama Pak Asep selaku ketua orkestra memberi kata sambutan. Lalu, seorang kakek tua bercerita dengan diiringi musik orkestra dan para penari yang duduk mengelilinginya. Penonton terus tertawa dengan hiburan dari kakek tua yang tampaknya sangat mencintai kebudayaan ini. Sedikit gerakan pencat silat ditunjukkan. Acara dilanjutkan dengan kaulinan barudak yang merupakan pertunjukan yang mempertontonkan permainan anak-anak di Subang pada umumnya. Pertunjukan tersebut dilakukan oleh anak-anak sampai remaja dengan antusias dan suasana perdesaan makin terasa saat itu. Selesai pertunjukan tersebut acara di lanjutkan dengan tari cikeruhan dan tari kangsreng dimana kemampuan mereka di sanggar kemayu selanjutnya giliran para remaja belia desa yang menari dengan pasangan masing-masing. Tari ini menggambarkan tata hubungan yang akrab dan hangat antara mereka. Pupuh lalu di tampilkan dengan permainan kecapi dan dua orang anak laki-laki yang menyanyikan lagu tradisional Sunda dengan bagus. Acara semakin seru dengan acara sisingaan. (penampilan dimana terdapat duakubuh yang beranggotakan empat orang yang mengangkat miniatur seperti singa).
Sisingaan
Kesenian ini pada awalnya merupakan bentuk kesenian yang juga beranggotakan para penari sanggar lalu masing-masing mengambil angklung dan mereka bermain dengan sangat rapi. Beberapa dari kami juga di ajak ke pentas untuk ikut menari dan bermain musik. Sungguh acara yang sangat menyenangkan, mengingatkan kami pada sisi lain yang sederhana dan tradisional di bumi ini.
Kami lalu berkumpul di api unggun untuk menikmati jagung dan ikan bakar sambil membahas kegiatan untuk besok hari.
Copyright 2009 BANDUNG. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy